Tanggamus, – Ditengah Situasi Kabar tentang Efisiensi Anggaran Belanja Publikasi, Pemerintah Kabupaten Tanggamus justru menginisiasi Anggaran khusus bagi Konten Kreator yang dinilai Kontra terhadap PERS. M Darwin CF.LE Ketua Gabungan Wartawan Indonesia (GWI) Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Tanggamus, menyoroti inisiatif Pemkab Tanggamus yang tengah menjepit Kemerdekaan Pers dalam peranannya.
“Kami tidak bersebrangan dengan Pemuda-pemudi yang mempunyai bakat menjadi Konten Kreator, namun yang membuat kami bertolak belakang ialah keputusan yang diambil oleh Bupati Kabupaten Tanggamus terkesan menghimpit Kinerja Tugas Jurnalistik. Kami selaku Insan Pers sangat menjunjung tinggi nilai-nilai budaya dan kearifan Lokal, tidak terlepas dari Norma Hukum dimana kami mempunyai Perusahaan yang dibentuk sesuai Prosedur Undang-undang Pers yang berlaku disertai adanya Faktur Pajak yang harus dibayar,” katanya, Senin (03/11/2025).
Pernyataan tersebut tentunya memiliki unsur-unsur yang jelas, dimana Konspirasi antara Pemkab Tanggamus Khususnya Diskominfo kepada Outsourcing Konten Kreator menggali potensi Jurnalistik dengan Mosi Tidak Percaya terhadap Pemkab.
“Tindakan ini tentunya sangat merugikan kami, dan sangat menyinggung UU Pers No 40 Tahun 1999, dimana Jurnalistik sangat diperlukan untuk memperoleh informasi khusus untuk menunjukkan Keterbukaan informasi Publik sesuai sumber yang akurat dan jelas. Adanya hal ini, kami selaku pengurus GWI menekan supaya aturan ini dapat dirubah dan memperjelas keberadaan Fungsi PERS di Tanggamus,”tegasnya.
Mengutip laman Sinarlampung.co, Anggaran belanja publikasi media Pemerintah Kabupaten Tanggamus, mengalami penurunan drastis pada 2025. Dari alokasi awal Rp4 miliar, pagu kini tinggal Rp2 miliar. Ironisnya, hingga menjelang akhir tahun anggaran, serapan belanja publikasi dikabarkan baru menyentuh sekitar Rp300 juta.
Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Tanggamus, Suhartono, menjelaskan bahwa penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara perusahaan media dengan pemkab bukanlah dasar utama dalam melakukan belanja publikasi melalui sistem e-Katalog.
“MoU dengan media bukan dasar utama untuk belanja publikasi lewat e-Katalog. Awalnya memang Rp4 miliar, kemudian dipangkas jadi Rp2 miliar. Di anggaran murni, realisasinya cuma sekitar Rp300 juta,” ujar Suhartono, (3/11).
Suhartono mengungkapkan, hingga kini Peraturan Bupati (Perbup) sebagai dasar penetapan standar harga publikasi untuk media cetak harian, mingguan, bulanan, media online, televisi, dan radio, belum juga diterbitkan.
“Standar harga itu harusnya tertuang dalam Perbup. Tapi Perbup-nya belum keluar,” ucapnya.
Namun, pernyataan tersebut langsung memunculkan polemik baru. Suhartono menegaskan bahwa Kominfo hanya pelaksana teknis, sementara keputusan eksekusi pembelian publikasi berada di tangan Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE).
“Kominfo hanya pelaksana. Mau belanja atau tidak, itu tergantung LPSE, karena mereka yang melakukan klik pembelian di sistem,” tegasnya.
Pernyataan Suhartono dibantah oleh pejabat LPSE, Budi, yang menegaskan pihaknya tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan tanpa instruksi resmi dari Kominfo sebagai OPD pengusul kegiatan.
“LPSE hanya mengeksekusi belanja media berdasarkan perintah dari Kominfo dan sesuai aturan yang berlaku. Kalau tidak ada instruksi dari Kominfo, kami tidak bisa melakukan pengadaan,” kata Budi.
Saling lempar pernyataan antara Kominfo dan LPSE itu memicu tanya besar di masyarakat: siapa sebenarnya yang bertanggung jawab atas minimnya serapan anggaran publikasi media di Tanggamus.
Sejumlah perusahaan media lokal mengaku resah dengan pemangkasan anggaran tersebut. Mereka menilai, rendahnya serapan anggaran publikasi berpotensi mengganggu arus informasi dan transparansi penyampaian program pemerintah kepada publik.
Jika polemik tidak segera diselesaikan dan Perbup standar harga tak kunjung terbit, dikhawatirkan kerja sama pemerintah dengan media akan makin lesu—bahkan lumpuh.
Kemudian, muncul kabar mengejutkan: Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Tanggamus merekrut tenaga outsourcing sebagai konten kreator dengan honor khusus dari pemerintah daerah.
Informasi tersebut memantik kegelisahan insan pers lokal. Pasalnya, sejumlah tenaga honorer yang selama ini aktif meliput kegiatan pemerintahan dan mendistribusikan rilis kepada media, kini justru tidak lagi dilibatkan.
“Kami melihat mereka sudah jarang bahkan tidak pernah mengirim rilis kegiatan pejabat Pemkab Tanggamus di grup WhatsApp resmi. Sebaliknya, Kominfo merekrut konten kreator, dan ironisnya mereka justru menerima honor dari pemda,” ujar salah seorang jurnalis yang enggan disebutkan namanya.
Situasi ini dinilai paradoksal. Ketika pemerintah daerah sedang gencar melakukan efisiensi anggaran, termasuk di tengah persoalan keuangan daerah, muncul justru kebijakan baru yang dianggap tidak berpihak kepada profesional media.
Publik menilai, meskipun konten kreator piawai memproduksi video pendek dan konten hiburan di media sosial, kapasitas mereka dalam komunikasi pemerintahan dinilai minim khususnya dalam penulisan rilis resmi, penyusunan narasi kebijakan publik, serta penyampaian informasi strategis mengenai program pembangunan daerah.
Kepala Dinas Kominfo Tanggamus, Suhartono, tidak membantah kabar tersebut. Ia menegaskan bahwa keberadaan konten kreator merupakan penugasan langsung dari Bupati Tanggamus.
“Benar, mereka itu konten kreator yang ditunjuk langsung oleh Ibu Bupati dan mendapat honor atas karya yang mereka buat,” kata Suhartono saat ditemui di ruang kerjanya, Senin (3/10/2025).
Ia menjelaskan bahwa konten kreator yang dimaksud telah mendapatkan Surat Keputusan (SK) resmi sebagai tenaga outsourcing Diskominfo dengan honor Rp2.500.000 per bulan untuk setiap konten kreator
“Honor mereka sebesar Rp2,5 juta per bulan. Itu anggaran untuk kebutuhan operasional seperti BBM, makan, minum, dan rokok saat mereka membuat konten kegiatan Bupati, Wakil Bupati, Ketua TP-PKK, bahkan S
ekda jika diperlukan,” tambahnya. (Tim GWI/Injan Yadi)



